Sunday 2 March 2014

Warmbee - 1

Ini hanya cerita fiktif. Kesamaan tempat, nama tokoh, dan lain-lain bisa jadi kebetulan semata. Dan tulisan ini nggak buat siapa-siapa. Syukur kalau kalian suka. Nggak suka? Nggak usah baca.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Aku cuma seorang mahasiswi semester tiga yang biasa saja. Sementara ini hidup dari dana pemberian orangtua dan hasil saweran dari pekerjaan sampinganku, drafter. Teman-teman yang kupunya hanya sebatas teman kampus karena selama ini aku sengaja mengisolasi diri ketika berada di kos. Kenapa? Kurasa nggak perlu dijelaskan. Beberapa teman yang kupunya cukup populer. Ada pemain sinetron kejar tayang, atlet sepak bola, penggebuk drum sebuah band besar yang namanya sedang hits abis, juga anak pejabat. Namun kepopuleran seperti nggak pernah menyapaku seperti dia mengawini hidup teman-temanku itu.

Mereka memanggilku Ashta. Karena memang itu nama yang kedua orangtuaku beri sejak lahir.

Nggak ada yang memperhatikan tingkahku, apapun itu. Tentu saja. Ashta bukan siapa-siapa. Bahkan dari awal aku bisa menjejakkan kaki  di bumi. Semua orang menganggapku ada, tapi bukan untuk diperhatikan. Hingga belakangan ini aku mencetuskan cita-cita baru untukku: Ashta yang diperhatikan. Itu mengerikan, aku tahu. Tapi keinginan itu seperti menggebu-gebu, nggak bisa ditolak, dan entahlah. Masalahnya, aku harus apa agar semua orang memperhatikanku?

'Lo tuh lama-lama jadi penderita social disorder akut deh, Ash. Nggak ngomong kalau nggak ditanya, jawab seperlunya, nggak punya pacar...' bla... bla... bla... aku tidak mendengarkan beberapa kata terakhir yang diucapkan oleh Adele karena aku sudah hapal apa akhir dari kalimat itu. Bisa dibilang dia satu-satunya orang yang memperhatikanku. Kami sama-sama nggak populer.

'Tapi gue nggak semengerikan itu kan buat lo,' jawabku sambil tersenyum tanpa menoleh ke arahnya. Aku sedang konsentrasi menggarap tugas mata kuliah desain furnitur yang harus dikonsultasikan siang ini.

'Yeah. Sekali waktu lo butuh berbaur dengan yang lain. Nggak baik ngerjain tugas melulu,' masih hasutan standar yang dia lontarkan.

'Gue persilakan lo duluan yang membaur. Kan lo sendiri yang bilang kalau gue ini pengidap social disorder akut.'

Adele diam sebentar. Aku tahu dia sedang memandangiku dari tempatnya duduk, tepat di sebelahku. Dan aku juga tahu apa maksudnya memandangiku seperti ini.

'Dari awal kuliah sampai sekarang kita pasti berdua terus. Nggak takut dikatain lesbian?'

Kali ini aku benar-benar menoleh padanya. Sedikit kesal karena dari tadi Adele nggak juga berhenti bicara. Mungkin hanya aku yang dia punya, seperti aku yang hanya punya dia untuk diajak bicara.

'Mau lesbian atau apapun itu, nggak akan ada yang peduli sama lo, sama gue juga. Lo pikir lo populer, ha? And by the way lo berhasil bikin gue nggak konsentrasi ngegambar. Thank you very much!'

Dia malah cekikikan bahagia. Sukses besar versinya adalah membuatku berhentu mengerjakan tugas. Tapi entah kenapa aku nggak bisa marah dengan yang satu ini. Lagipula siapa sih yang peduli aku mau marah atau nggak. Kehidupan khas anak nggak populer.

Ketidak populeranku memang sudah berada di level paling atas. Buktinya kedua orangtuaku juga tidak peduli pada apa yang kulakukan. Citra populerku tak bisa menembus standarnya. Tapi aku nggak kaget, atau ingin protes, atau ingin bunuh diri, apalah itu. Mungkin kalau bukan di bumi akan ada tempat lain yang bisa kusinggahi. Paling tidak untuk melupakan obsesi ingin diperhatikan yang kadang aku nggak tahu kenapa bisa separah ini.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kupikir ini pagi yang seperti biasa.

Langit berwarna biru bersih, awan menggumpal kecil-kecil, tanpa matahari karena mungkin ini terlalu pagi. Kulitku bergesekan dengan rumput yang lembut diiringi angin sepoi pagi. Bunga lili, tulip, dan bunga-bunga lain membuat tempat ini warna-warni. Aroma pagi yang sempurna.

Sampai di sini aku merasa ada yang aneh. Seharusnya ini bukan pagi yang biasa.

Aku duduk dari tidurku, menebar pandangan ke sekeliling. Bukannya semalam aku tidur di kamar? Lalu kenapa sekarang aku berada di tengah pekarangan orang? Hey, di mana aku?

Aku pun beranjak dan hendak berlari, Tapi seseorang yang berdiri di belakangku menjadikan niat untuk berlari pupus. Orang itu lebih tinggi dariku. Berbadan kekar, berkulit kemerahan. Tatapannya kosong. Dengan cekatan tangannya meraih tubuhku, menyampirkannya di bahu seperti handuk yang akan dipakainya mandi.

Panik. Aku meronta, memukul, menggigit. Seakan badannya terbuat dari beton cor, malah aku yang kesakitan. Dan laki-laki ini terus berjalan, menyusuri koridor panjang sebuah rumah yang pekarangannya kukagumi tadi. Sedangkan aku cuma bisa pasrah tersampir di bahunya.

Dia meletakkanku begitu saja pada sebuah ranjang seperti di rumah sakit. Ruangan ini juga seperti rumah sakit. Monitor jantung, tabung oksigen, selang-selang, jarum suntik, dan banyak lagi. Aroma jeruk yang memenuhi ruangan seperti nggak mempengaruhiku untuk berpikir baik saat ini.

Laki-laki lain mendekat ke arahku. Reflek, aku mundur. Laki-laki ini memandangiku sambil mengerutkan dahinya.

'Saya nggak tahu kamu dari jenis apa. Jadi kita perlu melakukan pemeriksaan dulu,' kata laki-laki yang baru saja mendekatiku. Dia kembali pada meja kerjanya yang dipenuhi catatan, mikroskop, dan apalah itu yang aku nggak tahu. 'Makasih, Drew. Kamu bisa pergi sekarang,' katanya lagi kepada laki-laki yang membawaku ke sini.

'Pemeriksaan apa? Kamu siapa? Ini di mana?' pertanyaan ini kedengarannya seperti penderita amnesia yang baru sadar. Atau mungkin anak korban penculikan.

'Hal itu biasa diucapkan warmbee yang tiba-tiba ada di sini. Bisa jadi...'

'Warmbee?' aku memotong kalimatnya yang belum selesai.

Dia menoleh padaku. Setengah heran dan jengkel. Mungkin karena daritadi aku bertanya terus seperti anak kecil. Kemudian dia kembali pada pekerjaannya, menyiapkan cairan-cairan dan jarum suntik.

'Kamu nggak tahu? Warmbee, penduduk asli daerah ini.'

'Apa manusia termasuk warmbee?'

Kali ini dia langsung mendatangiku. Aku sudah ngeri karena melihatnya dengan jarum suntik. Dipandanginya aku sekali lagi. Di kedua mataku dia menghentikan tatapannya. Aku tahu dia masih mengamati.

'Boleh pegang tangannya sebentar?'

Dengan keyakinan pas-pasan kuberikan tanganku. Dia hanya mengecek nadiku, menghitung detaknya. Lalu dia tersenyum.

'Benar, kamu memang manusia. Tapi kenapa kamu bisa ke sini?'

'Nggak tahu. Padahal tadi malam aku tidur di kamarku dan waktu bangun sudah ada di pekarangan.'

'Oke, aku Kris. Kita sama-sama manusia. Dan selamat datang di Pabelforth!'



-bersambung-